[Cerpen] Pelukan Tuhan
Donika duduk termenung di bawah pohon Beringin. Dia tidak menghiraukan suara riuh yang ia dengar di sekitar tempatnya duduk itu. Baginya itu hanya pelengkap kesedihan. Gadis berusia 13 tahun itu memandangi teman-temannya yang berlarian tanpa menghiraukan keberadaannya. Meskipun waktu istirahat sekolah terasa menyenangkan bagi kebanyakan anak, namun tidak demikian dengan Donika. Ia justru merasa waktu istirahat adalah waktu yang sangat melelahkan dan membingungkan. Mungkin lebih tepatnya itu adalah waktu untuk menyambut mimpi buruk yang datang dalam kesadaran. Mimpi buruk yang tidak bisa dihentikan dengan mata terbuka, dan hanya menyiksa batinnya.
ilustrasi: Bintang Ayudya Putri |
Tidak ada seorang teman pun yang mengajaknya bermain pada jam istirahat itu. Mereka menjauhi Donika karena rambut Donika yang tidak pernah rapi. Berbeda dengan rambut teman-temannya yang sangat rapi. Donika memang tidak rajin menyisir rambutnya selama 2 minggu ini, karena ada luka bakar di kepalanya. Jika terkena sisir sedikit, akan terasa sakit. Luka itu ia dapat dari kecelakaan yang dialaminya 2 minggu lalu. Saat ia bermain dengan teman-teman di rumahnya. Saat mereka asyik bermain, secara tidak sengaja salah seorang temannya menyenggol sebuah lilin di atas meja. Lilin itu pun jatuh dan mengenai kepala Donika. Dan saat itu pula luka itu singgah di kepala Donika. Menurut dokter, luka bakar itu akan sembuh dalam jangka waktu 2 bulan. Dokter menyarankan agar Donika istirahat saja di rumah. Namun, Donika selalu ingin segera masuk sekolah. Kedua orang tuanya pun tidak bisa berkata apa-apa saat putri pertamanya itu memohon agar diizinkan masuk sekolah. Dan di luar dugaan, semua teman sekolahnya menjauh.
Menurut Donika, rambut yang dimilikinya bukanlah sesuatu yang dapat menimbulkan dosa besar. Untuk itu, dia sangat bingung dengan ulah teman-temannya. Mereka selalu mengolok-olok Donika semenjak luka itu ada. yang ada di pikirannya saat itu adalah “Apakah rambut dan luka bakar di kepalaku ini adalah pengatur rendah tingginya sikap seseorang terhadapku?”. Dia bingung dengan masalah yang ia hadapi saat ini.
“Hei rambut jelek, kalau dilihat-lihat, semakin hari semakin jelek aja” Kata salah seorang kawan lamanya yang bernama Mutia.
“ha ha ha” gelak tawa
anak-anak lain semakin melengkapi penderitaan Donika dan membuyarkan
lamunannya.
Gadis malang itu
hanya bisa bersedih. Memang air matanya tidak terlihat. Karena, semua air
matanya berusaha ia bendung. Dia tidak ingin semua temannya semakin senang
dengan air mata yang keluar. Dia berusaha untuk tegar agar tidak terlihat
lemah. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Setelah menangis, keadaan
tidak akan benar-benar berubah sebelum luka bakar itu sembuh. Di saat seperti
ini, bel masuk sekolah adalah satu-satunya harapan untuk melepaskan Donika dari
keadaan ini. Dia hanya bisa pasrah mendengar celotehan teman-temannya yang
terdengar seperti paku yang di pukul berulang-ulang di atas meja. Sangat
nyaring, berisik dan menusuk telinga. Kalau saja ada alat peredam suara mini,
mungkin Donika akan memakainya saat istirahat sekolah, agar suara-suara itu
tidak terdengar nyaring di telinganya.
“Kriiinggg…
Kriiiingggg…”
Suara bel masuk
terdengar nyaring. Semua anak-anak pun berlarian menuju kelas mereka
masing-masing. Demikian pula dengan Donika. Suara bel itu seperti peri
penolongnya.
Di dalam kelas,
Donika duduk sendirian. Mutia, kawan yang pernah duduk sebangku dengannya, kini
sudah berpindah duduk ke bangku lain. Mutia memilih duduk dengan anak lain,
karena ia jijik melihat luka bakar yang ada di kepala Donika. Donika tidak
pernah menyangka kalau teman baiknya itu akan meninggalkannya hanya karena luka
bakar yang dideritanya. Sebelum luka bakar itu ada, Mutia adalah kawan
terbaiknya. Donika memaklumi tingkah Mutia itu. Yang tidak bisa ia terima
adalah sikap Mutia yang selalu mengolok-oloknya. Dia tidak habis pikir,
Bagaimana bisa kawan sebaik itu sikapnya berubah 1800 hanya karena luka bakar?
Semudah itu kah sikap seseorang bisa berubah? Bukankah luka bakarku ini hanya
benda mati? Apa yang mereka khawatirkan? Lagi pula ini bukanlah penyakit yang menular.
Saat di dalam kelas,
kesedihan yang dialami Donika berkurang sedikit demi sedikit. Pelajaran yang
diberikan pada saat itu, dapat membantunya melenyapkan gunjingan-gunjingan yang
ia terima saat istirahat tadi. Donika mengalihkan konsentrasinya pada
penyelesaian
soal matematika yang ditulis oleh Bu Farida di papan tulis. Ia sangat
memperhatikan rumus-rumus yang diberikan oleh Bu Farida. Sebetulnya, Donika
bukanlah anak yang rajin. Tapi ia selalu memperhatikan apa yang diterangkan
oleh guru-gurunya pada saat pelajaran. Hal inilah yang membuatnya selalu
mendapatkan nilai bagus pada saat ulangan.
“Apa ada yang bisa
menyelesaikan soal ini?” Tanya Bu Farida kepada semua murid yang ada di kelas
itu.
Donika mengancungkan
tangan seraya berkata “Saya Bu”
“Ya Donika, maju ke
depan. Jelaskan jawabanmu kepada semua temanmu.”
Donika maju ke depan
dan menjelaskan jawaban dari soal yang dituliskan Bu Farida di papan tulis.
“Karena tinggi
Kerucut dapat di cari dengan bayangan segitiga yang berada di dalamnya. Maka,
dengan rumus Phytagoras, kita dapat menemukan tinggi dan volume kerucut ini”
Donika menjelaskan sambil menulis rumus-rumus untuk menemukan jawaban soal itu.
“Ya benar. Terima
kasih dan silakan duduk Donika.” Ujar Bu Farida seraya tersenyum kepada Donika.
“Apa ada yang perlu
ditanyakan anak-anak?” Tanya Bu Farida kepada murid-muridnya yang berada di
kelas itu.
Semua siswa hanya
menanggapi pertanyaan itu dengan kesunyian. Tak seorang pun di
antara mereka yang berbicara. Tentu saja kesunyian yang
mereka buat itu bukan karena mengerti atas apa yang dikerjakan Donika.
Melainkan karena mereka benci dengan pujian yang diberikan Bu Farida kepada
Donika. Menurut mereka, pujian itu tidak pantas diberikan kepada gadis yang
menderita luka bakar dengan rambut tidak rapi itu. Donika sedikit tertekan
dengan keadaan ini.
“Krinnnnggg…
Krriiiiiinnnggg… Krriinnngg”
Bel sekolah berbunyi
tiga kali, menandakan waktu pulang sekolah telah tiba. Semua anak di SMP 23
Harapan pun pulang. Begitu pula dengan Donika. Ia membereskan semua alat
tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas.
“Hei, rambut kusut,
jelek banget sih? Mau pulang ya? Hati-hati tuh lukanya ntar leleh kena sinar
matahari. Apa butuh kantong plastik buat nutupin? Hah?” ejek Mutia dengan nada
yang tidak beraturan.
“Ha ha ha ha ha”
Gelak tawa semua anak saling bersahutan menanghapi ejekan Mutia. Donika hanya bisa menundukkan kepalanya
agar teman-temannya tidak melihat air mata yang membasahi pipinya.
“Eh, kamu tadi cari
muka banget sih? Walaupun kamu nyelesaikan soal di depan kelas, tetap saja luka
bakarmu itu hinggap di kepalamu. Nggak akan mengubah keadaan…” ejek Mutia lagi.
“Ha ha ha ha ha” Tawa
teman-teman Mutia terdengar saling bersahutan.
Donika sudah tidak
tahan lagi mendengar berbagai macam hinaan yang dilontarkan oleh Mutia. Ia
menangis keluar kelas menuju parkir sekolah dan bergegas mengayuhnya. Dia tidak
mempedulikan terik matahari yang menyengat kulitnya. Dia juga tidak peduli
dengan pandangan orang-orang di jalanan. Pandangan yang tertuju pada air mata
yang membasahi pipi Donika. Angin seolah tak mampu mengeringkan air mata Donika
yang keluar dengan kesedihan yang mendalam itu. Saat itu, seluruh pikiran
Donika dipenuhi dengan kebencian. Ia sangat benci kepada Mutia yang begitu tega
mengejeknya. Ia juga sempat berpikir, Mengapa ia dilahirkan hanya untuk
diolok-olok? Kenapa hidupku begitu susah hanya karena luka bakar ini?
***
“Ada apa sayang?
Temanmu mengejekmu lagu? Sudah, jangan menangis ya? Ada Ibu di sini.” Kata
Ibunya lembut.
“Kenapa mereka selalu
seperti itu Bu? Seburuk itukah aku?” kata Donika lirih dengan air mata yang
masih membasahi pipinya. Ucapannya terdengar terbata-bata karena tangisan yang
tidak bisa ia hentikan itu.
“Huuusshh… Mana boleh
bicara seperti itu nak? Lihatlah cermin di kamarmu. Kamu adalah satu-satunya
gadis tercantik yang ibu miliki. Tidak ada penyesalan sedikit pun Ibu
membesarkan gadis secantik dan sepintar kamu.” Kata Ibunya seraya mengusap air
mata di pipi Donika.
“Benarkah? Tapi
kenapa mereka terus mengejekku Bu?” Tersenyum kepada Donika.
“Mungkin mereka iri
dengan apa yang kamu punya saat ini nak. Sudah ya, jangan nangis lagi. Ayo,
ikut Ibu jalan-jalan sekarang. Kita cari udara segar supaya kamu nangis lagi
ya…” nasihat Ibunya seraya tersenyum kepada anaknya.
Saat mengandung anak gadisnya itu, tidak terbesit sedikit pun pemikiran akan kejadian seperti ini. Ia tidak pernah menduga, keadaan sesulit ini akan dihadapi anaknya pada usia 13 tahun. Kalau saja waktu dapat diubah dengan nyawa. Mungkin ia akan mengorbankan nyawanya agar luka bakar yang ada di kepala Donika bisa hilang. Ia akan melakukan apa pun untuk menghapus air mata yang membasahi pipi Donika. Nyawa tak akan membuatnya berpikir dua kali demi kebahagiaan putrinya.
***
“Ayo kita berangkat!
Kamu sudah siap kan?” Tanya Ibunya.
“Siiiaaappp….” Jawab
Donika dengan penuh semangat. Dia paling senang kalau diajak jalan-jalan oleh
Ibunya yang sudah terlihat tua itu.
Dalam perjalanan,
Donika tampak sangat bahagia saat ibunya mengajaknya berkeliling-keliling
menggunakan mobil Kijang yang sudah terlihat tua itu. Namun demikian, mobil tua
itu menyimpan banyak kenangan yang berharga bagi Donika dan Ibunya.
“Bu, kelihatnya ice
cream itu sangat segar. Bisakah kita berhenti sebentar? Aku ingin membelinya.”
Ujar Donika sambil menunjuk ke arah gerobak ice ice cream yang ada di seberang
jalan
“Tentu saja nak.”
Kata Ibu Donika tersenyum, seraya memarkirkan mobilnya di dekat gerobak penjual
ice cream
Setelah turun dari
mobil, Donika langsung berlari menuju gerobak ice cream. Ia langsung memesan
ice cream rasa coklat kesukaannya.
“Ice cream coklatnya
satu ya pak…” ujar Donika kepada Penjual ice cream
“Ini uangnya Pak.”
Donika memberikan uangnya dan mengambil ice cream coklatnya.
“Terima kasih ya
neng.” Ujar penjual ice cream.
Donika tersenyum
bahagia sambil menjilati ice cream coklatnya. Kesedihan yang tadi tampak jelas
di wajahnya, kini telah hilang. Ibunya tersenyum bahagia melihat senyum lebar
yang tergambar jelas di wajah Donika. Senyum itu menyejukkan hati Ibu Donika.
Melihat anaknya bahagia terasa seperti melihat surga. Ia selalu berpikir bahwa
hidupnya diciptakan hanya untuk membesarkan dan membahagiakan anak gadisnya
itu. Ia juga selalu bersyukur kepada Tuhan atas hembusan nafas yang masih
dirasakannya sampai saat ini. Tanpa hembusan nafas yang diberikan Tuhan, dia
tidak tahu bagaimana kehidupan anak gadisnya itu. Dia tidak bisa membayangkan hal itu
terjadi, karena ia selalu ingin berada di dekat Donika. Dia ingin selalu
melihat kebahagiaan Donika. Meskipun ia juga mempunyai suami sangat menyayangi
keluarganya, ia selalu ingin menjadi yang terbaik bagi Donika.
“Ibu, ice creamnya
sudah habis. Apakah kita jalan-jalan lagi?” kata Donika membuyarkan lamunan
Ibunya.
“Tentu saja nak..
naiklah ke dalam mobil.” Jawab Ibunya dengan senyum lebar mengembang di
wajahnya.
Mobil Kijang tua itu
pun kembali melaju dengan senyum kegembiraan orang-orang yang ada di dalamnya.
Dalam perjalanan,
Donika sesekali tertawa lepas karena cerita lucu yang sengaja dibuat oleh
Ibunya. Ibunya tahu bagaimana cara menghibur anak gadisnya itu. Namun, saat Ibu
Donika kehabisan cerita, Donika akan kembali terdiam dan menyibukkan diri
dengan melihat toko-toko yang ada di pinggir jalan.
Hari semakin sore,
Donika terlihat mengantuk. Ibunya pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Donika
tertidur lelap saat perjalanan pulang. Sesampainya di rumah, ia membangunkan
Donika.
“Nak, bangun nak, ini
sudah sampai” kata Ibu Donika membangunkan anaknya.
“Hhhhooooaaammm… baik
Bu” kata Donika sambil dan menutup mulutnya yang menguap itu.
“Kamu shalat ashar
dulu ya. Setelah shalat, jangan tidur dulu ya cantik..! Gak baik anak perempuan
tidur saat menjelang maghrib.”
“Baik Bu…” jawab
Donika sambil bergegas menuju kamar mandi.
***
Pukul lima sore, Ayah
Donika datang. Donika sangat menanti saat-saat ini. Dia langsung memeluk
ayahnya.
“Anak cantik apa
sudah mandi ini? Baunya kok masih kecut gini ya?” kata ayahnya menggoda seraya
memeluk anak gadisnya itu.
“Heemmbb…. Ayah,,,
aku sudah mandi yah… bau kecut dari mana sih? Ayah tu yang belum mandi makanya
bau kecut.” Jawab Donika dengan memanyunkan mulutnya. Ia tahu kalau ayahnya
sedang menggodanya. Setelah itu, ia berjalan menghampiri istrinya, dan
memeluknya.
***
Adzan Maghrib
terdengar berkumandang. Donika langsung bergegas mengambil wudlu untuk
menunaikan shalat. Ia sudah terbiasa melakukan shalat tepat waktu. Setelah
shalat Maghrib, ia selalu menyempatkan diri untuk mengaji. Baginya, mengaji
adalah waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Berkomunikasi atas
masalah yang ia hadapi di dunia yang kelam ini. Dia tidak pernah menuliskan
masalah-masalah yang ia hadapi ke dalam buku Diary seperti yang biasanya
dilakukan oleh anak perempuan yang seumuran dengannya. Karena menurutnya,
menulis Diary tidak akan menyelesaikan masalah. Meskipun menurut sebagian orang
menulis Diary dapat melegakan hati. Tapi, menulis di buku Diary tidak akan
menyelesaikan masalah. Berbeda dengan mengaji. Dengan mengaji, Donika akan merasa lega, dan
masalah akan terselesaikan dengan sendirinya di luar dugaan. Hal ini sudah
pernah dialami Donika saat ia terpuruk karena adik laki-laki yang berusia 5
tahun yang sangat dicintanya meninggal dunia tahun lalu. Ia bisa menghadapi
semua itu karena bantuan Tuhan yang memudahkan semua jalan yang dia alami. Karena
itu, ia yakin, pada saat mengaji hatinya akan tentram.
Terkadang, secara
tidak sadar, air matanya akan mengalir keluar saat mengaji. Ia tidak pernah
menduga, hal seperti ini bisa terjadi. Bukan karena ia merasa terbebani atas
masalah yang ada. Ia menangis karena pada saat mengaji, ia membayangkan Tuhan
ada di depannya dan mendengar atas masalah-masalah yang dialaminya. Ia juga
membayangkan berada di pelukan Tuhan. Tuhan yang selalu ada untuknya, Tuhan
yang selalu mendengar masalah-masalahnya. Dan Tuhan yang selalu memberikan
kehidupan yang patut disyukuri.
***
Pukul 9 malam,
setelah shalat Isya’, Donika bergegas menuju tempat tidurnya. Selang beberapa
waktu, Ibu Donika masuk ke dalam kamar Donika. Ia hanya ingin memastikan,
Donika bisa tertidur dengan nyenyak tanpa memikirkan masalah yang Donika alami
di sekolah tadi. Dan setelah ia periksa, ternyata Donika sudah tertidur. Ia
menghampiri anaknya itu dan mencium keningnya dengan perlahan. Ia tidak ingin
membangunkan Donika yang sudah terlihat tidur pulas. Tapi,
ia beranjak akan berdiri, sempat dikagetkan oleh pelukan yang tiba-tiba datang
dari arah belakang. Ia bisa menebak bahwa itu adalah pelukan anak gadisnya. Ia
membalikkan badannya, dan memeluk Donika.
“Aku sayang Ibu.”
Bisik Donika di telinga Ibunya.
“Aku juga sayang kamu
nak.” Jawab ibunya seraya membelai rambut Donika.
Kemudian Donika
kembali ke tempat tidurnya. Ibunya belum ingin beranjak pergi meninggalkan
kamar anaknya. Ia mengelu-elus rambut Donika, sedangkan Donika memeluk kaki
Ibunya. Dan beberapa waktu kemudian, Donika pun tertidur pulas. Ibunya pun
meninggalkannya dengan perlahan dengan maksud tidak ingin Donika terbangun.
***
Keesokan harinya,
Donika kembali bersiap pergi ke sekolah. Ia siap menghadapi segala kemungkinan
kejadian yang mungkin dapat menyakitkan hatinya. Ia mengenakan pakaian seragamnya dengan penuh semangat. Namun, ia dikagetkan
dengan kedatangan Ibunya yang membawakannya pakaian seragam putih lengan
panjang, rok biru panjang serta kerudung putih yang siap untuk dikenakan.
“Nak,, ini Ibu
belikan kamu seragam sekolah baru lengkap dengan kerudungnya. Apa kamu senang?” Tanya Ibu Donika.
“Benarkah..? Terima
kasih Ibu. Ini bisa membantu menutupi lukaku. Aku sangat senang Bu. Terima
kasih banyak Ibu. Aku sayang Ibu.” Kata Donika bahagia seraya memeluk Ibunya
dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
“Ia nak… Ibu juga
senang kalau kamu senang…” kata Ibu Donika senang, serta membalas pelukan
Donika.
Wanita separuh baya
itu terlihat sangat senang. Ia sengaja membelikan seragam dan kerudung itu
karena ia tidak ingin lagi melihat tangisan anaknya. Tangisan yang bisa
menghancurkan hatinya.
***
Setelah menghabiskan sarapannya, ia bergegas bersiap pergi ke sekolah.
Ia mencium tangan dan pipi Ibunya
“Donika berangkat Bu.
Assalamu’alaikum…” Pamit Donika dengan senyum yang tidak henti-hentinya ia
perlihatkan. Ia segera bergegas naik mobil milik Ayahnya.
Di tengah perjalanan,
Donika merenungkan atas kebahagiaan yang ia alami saat itu. Donika sadar bahwa
Tuhan menjawab curahan hatinya tadi malam. Tuhan juga telah menyampaikan sebuah
teguran melalui Ibunya. Teguran untuk memakai kerudung dan menutup aurot. Kerudung
yang dapat menutupi semua lukanya. Luka dari yang dideritanya dan luka di dalam
hatinya. Donika juga baru sadar, Tuhan telah mengirimkan malaikat yang selalu
ada di sampingnya. Malaikat yang selalu membantunya untuk menghadapi semua
masalah-masalah yang tidak berujung. Malaikat itu adalah Ibu yang selalu ada di sampingnya di kala suka maupun duka.
Sejak saat itu, ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan mengabaikan omongan teman-temannya di sekolahan. Ia sadar, teman bukanlah prioritas utama saat sekolah. Senyum bangga orang tua akan kesuksesannya di masa depan adalah sesuatu yang harus diwujudkannya. Tanpa teman, hidupnya akan baik-baik saja. Karena ia masih punya Tuhan dan orang tua yang sangat menyayangi dan selalu ada untuknya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar